1 2 3 4

30/05/13

Suap dan Gratifikasi; Bedanya dimana...?


Menurut Reza Aditya Wardhana, S.H., Gratifikasi bukanlah jenis delik melainkan sebagai unsur delik, adapun deliknya sendiri adalah penerima Gratifikasi. Pembuktian apakah Gratifikasi sebagai suap atau tidak dalam undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menganut asas pembalikan beban pembuktian. Dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, penerima Gratifikasi wajib memberikan laporan kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu 30 (tiga puluh) hari, jika hal tersebut tidak dilakukan maka gratifikasi tersebut, dianggap sebagai suap, laporan kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak gratifikasi itu diterima dan oleh Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi akan ditentukan apakah gratifikasi tersebut sebagai suap atau tidak dan jika terbukti suap maka gratifikasi itu akan menjadi milik negara dan sebaliknya apabila tidak ada kaitannya gratifikasi tersebut menjadi hak dari penerima gratifikasi.

Pengaturan tentang keduanya, diatur dalam perundang-undangan yang berbeda. Undang-undang mengenai suap diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73), UU No. 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap (“UU 11/1980”) dan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta diatur pula dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (“UU Pemberantasan Tipikor”). Sementara tentang gratifikasi diatur dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta diatur pula dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (“UU Pemberantasan Tipikor”) dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 03/PMK.06/2011 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara yang Berasal Dari Barang Rampasan Negara dan Barang Gratifikasi.

Dari sisi definisi, suap sebagaimana diatur dalam perundang-undangan memiliki arti Barangsiapa menerima sesuatu atau janji, sedangkan ia mengetahui atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena menerima suap dengan pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000.000.- (lima belas juta rupiah) (Pasal 3 UU 3/1980).

Sementara gratifikasi adalah Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik (Penjelasan Pasal 12B UU Pemberantasan Tipikor).

Dari sisi sanksi pidana, antara keduanya juga memiliki ketentuan yang berbeda. Sanksi Pidana suap, sebagaimana diatur dalam undang-undang sebagai berikut :

UU 11/1980:

Pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000.000.- (lima belas juta rupiah) (Pasal 3 UU 3/1980).

KUHP:

pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah (Pasal 149)

UU Pemberantasan Tipikor:

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya (Pasal 11 UU Pemberantasan Tipikor).

Sedangkan sanksi pidana Gratifikasi adalah Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) (Pasal 12B ayat [2] UU Pemberantasan Tipikor).

Faktor apa saja yang mendasari adanya perumusan mengenai delik gratifikasi, merujuk pada salah satu penjelasan yang diamuat dalam Buku Saku Memahami Gratifikasi yang diterbitkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Di dalam buku tersebut (hal. 1) dijelaskan sebagai berikut:

Terbentuknya peraturan tentang gratifikasi ini merupakan bentuk kesadaran bahwa gratifikasi dapat mempunyai dampak yang negatif dan dapat disalahgunakan, khususnya dalam rangka penyelenggaraan pelayanan publik, sehingga unsur ini diatur dalam perundang-undangan mengenai tindak pidana korupsi. Diharapkan jika budaya pemberian dan penerimaan gratifikasi kepada/oleh Penyelenggara Negara dan Pegawai Negeri dapat dihentikan, maka tindak pidana pemerasan dan suap dapat diminimalkan atau bahkan dihilangkan.

Di dalam buku tersebut juga dijelaskan contoh-contoh pemberian yang dapat dikategorikan sebagai gratifi­kasi yang sering terjadi, yaitu (hal. 19) :
  1. Pemberian hadiah atau parsel kepada pejabat pada saat hari raya keagamaan, oleh rekanan atau bawahannya
  2. Hadiah atau sumbangan pada saat perkawinan anak dari peja­bat oleh rekanan kantor pejabat tersebut
  3. Pemberian tiket perjalanan kepada pejabat atau keluarganya untuk keperluan pribadi secara cuma-cuma
  4. Pemberian potongan harga khusus bagi pejabat untuk pembe­lian barang dari rekanan
  5. Pemberian biaya atau ongkos naik haji dari rekanan kepada pe­jabat
  6. Pemberian hadiah ulang tahun atau pada acara-acara pribadi lainnya dari rekanan
  7. Pemberian hadiah atau souvenir kepada pejabat pada saat kun­jungan kerja
  8. Pemberian hadiah atau uang sebagai ucapan terima kasih kare­na telah dibantu
 Disarikan dari berbagai sumber

ads

Ditulis Oleh : agha_ku Hari: 12.37 Kategori:

0 komentar:

Posting Komentar