1 2 3 4

31/05/13

Antara KPK dan Koruptor dalam Relasi Politik, Hukum dan Kekuasaan




Fenomena gugurnya integritas politisi baik yang ‘muda’ maupun yang ‘tua’ menjelang Tahun Politik 2014, membawa beberapa spekulasi politik; semisal teori konspirasi sampai pada kisah ‘sengkuni’ dalam cerita pewayangan Jawa. Tulisan ini akan mencoba mencandra fenomena tersebut tidak hanya dalam spektrum hukum positif yang bernuasa normatif dan preskriptif, namun juga dalam relasi intim antara hukum dan kekuasaan.

Penetapan status tersangka kepada politisi muda dan sekaligus Ketua Partai Demokrat, Anas Urbaningrum oleh KPK, merupakan momentum positif dalam konteks penegakan hukum dan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Publik patuh bergembira, karena selama lebih setahun setelah ‘partner in crime’ nya Nazarrudin ‘bernyanyi’ dalam proses penyidikan, Anas akhirnya mengikuti jejaknya memasuki jaring perangkap KPK.

Begitu juga dengan penetapan Luthfi Hasan Ishak yang terjerat tindak pidana korupsi impor daging sapi, yang menggusur jaringan di sekelilingnya. Alih-alih demi memenuhi kebutuhan dana partai, jerat hukum juga menjerat tindak pidana pencucian uang, gratifikasi dan suap.

Indonesia, dalam kerangka legal formal menganut mekanisme negara hukum (rule of law) yang menitik beratkan pada penghormatan atas hak asasi manusia sebagaimana terpatri dalam konstitusi negara. Paradigma liberal tersebut dapat dilacak dari pemikiran Austin dan Bentham, dua filsuf kebangsaan Inggris yang berjasa ‘menyelamatkan’ negara common law dari ketidakjelasan konsep moral dalam tradisi judge made law yang di populerkan oleh Blackstone, mereka secara ilmiah mereduksi definisi dan jangkauan hukum sebatas pada hukum negara yang dijalankan dengan kekuatan sanksi (sanction), perintah penguasa (command) dan kedaulatan hukum negara (sovereign) (Crowe, 2006). Paradigma ini, lebih memfokuskan pada pertanyaan apa dan bagaimana ‘sumber’ dan ‘validasi’ hukum, namun kurang dalam mengelaborasi pertanyaan bagaimana hukum itu dijalankan untuk mencapai tujuannya.

Moeljatno mengatakan bahwa hukum adalah upaya manusia untuk mencapai keadilan. Di dalam penerapannya, Pascal juga menyatakan bahwa yang berkuasa harus adil dan yang adil harus berkuasa (mempunyai wibawa). Keadilan perlu diikuti dan kekuasaan perlu ditaati. Keadilan tanpa kekuasaan akan ditentang, sebab di mana-mana selalu ada orang jahat. Kekuasaan tanpa keadilan akan digugat. Oleh karenanya, keadilan dan kekuasaan harus selalu dihubungkan, sebab segala sesuatu yang adil harus kuat dan segala sesuatu yang kuat harus dijadikan adil atau diarahkan kepada yang adil.

Dalam konteks penegakan hukum, prinsip tersebut di abstraksikan dalam sebuah prinsip ‘equality before the law’ yang diartikan sebagai persamaan atau tidak adanya diskriminasi dalam proses penyidikan. Packer, menjelaskan tentang pentingnya penghormatan terhadap prinsip hukum tersebut dengan membingkainya dalam suatu model bernama Due Process Model (DPM) yang mewajibkan adanya proses penyidikan yang berkesesuaian dengan asas kehati-hatian, ketelitian dengan mengedepankan pranata hak asasi manusia terutama asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence). Model tersebut menurut Packer merupakan prasyarat mutlak dalam mewujudkan prinsip persamaan dan non-diskriminasi di hadapan hukum.

Dalam dimensi hukum an sich, Anas dan politisi yang terjerat kasus pidana korupsi adalah ‘orang biasa’ yang memiliki status dan hak yang sama di hadapan hukum. Pihak penuntut dalam hal ini KPK, juga dilihat sebagai institusi yang kebal dan bertindak professional dengan menafikan segala intervensi politik dan istiqomah dengan mengedepankan asas-asas hukum sebagai aturan main (the rule of conduct) yang berlaku. Namun dalam persepktif sosio-legal terlebih dalam perspektif hukum kritis, Anas dan mereka yang terjerat kasus korupsi tidaklah selalu ‘orang biasa’, namun lebih kepada orang yang memiliki bargaining dalam percaturan politik dan hukum di negara ini.

Islam memandang Prinsip kekuasaan sebagai amanah. Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa orang yang diberi amanah harus menyampaikan amanah itu kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Hal ini ditegaskan dalam surat Al-Nisa’ ayat 58 yang artinya “Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya dan memerintahkan kamu apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat.” 

Makna Kekuasaan

Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan pelaku. Pengertian ini kendati bermakna sosiologis, boleh jadi sangat realistis mengingat bahwa manusia hidup pada dasarnya mempunyai berbagai keinginan dan tujuan yang hendak diraihnya. Dalam konteks ini, demikian pula yang terjadi pada kekuasaan yang dimiliki oleh negara, tidak terbatas dalam kehidupan antar manusia di bidang politik semata-mata, serta tidak pula terbatas pada negara yang baru tumbuh, tetapi, di bidang hukum pun kekuasaan senantiasa bergandengan (Miriam Budiarjo, 1982)

Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah laku atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga sesuai dengan keinginan dan tujuan orang yang mempunyai kekuasaan itu. Sarjana-sarjana yang melihat kekuasaan sebagai inti politik beranggapan bahwa politik adalah semua kegiatan menyangkut masalah memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan dan biasanya dianggap bahwa perjuangan kekuasaan mempunyai tujuan yang menyangkut kepentingan seluruh masyarakat.
Kekuasaan adalah masalah manusia, khususnya dalam kehidupan bersama manusia atau masyarakat. Namun, kekuasaan tidak terbatas dalam kehidupan antar manusia di bidang hukum semata-mata serta tidak pula terbatas pada negara yang baru tumbuh. Tetapi, di luar bidang hukum dan sebelum munculnya negara, masalah kekuasaan ini pun sudah mempengaruhi perikehidupan manusia, walaupun dalam kehidupan sekarang, kekuasaan lebih erat berhubungan dengan Negara (Cheppy Haricahyono, 1991)

Hukum dan kekuasaan berkelindan dengan mesra dalam dinamika bernegara. Marx dan kaum post-strukturalisme kerap mengkritik hukum negara yang cenderung berpura-pura naïf dalam berdialektika dengan menafikan pengaruh-pengaruh non-legal terhadap hukum dan menerima hukum sebagaimana apa adanya (law as it is ought to be). Derrida dan Foucault bahkan lebih jauh berargumen dengan menantang ‘narasi besar’ (‘metanarrative’) kekuasaan hukum negara. Mereka berpandangan bahwa negara mengkonstruksi ‘konsep kebenaran’ (concept of knowledge) yang di perkenal kan secara perlahan lewat jalur kekuasaan dengan proses atas-bawah. Konsep kebenaran dalam relasi penguasa dengan rakyat tidaklah pernah mutlak (absolute), namun lebih tergantung pada struktur posisi orang atau golongan yang menciptakan ‘kebenaran’ tersebut.(Stacy, 2001).
 
Etika politik menuntut agar kekuasaan sesuai dengan hukum yang berlaku (legalitas), disahkan secara demokratis (legitimasi demokratis) dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar moral (legitimasi moral). Ketiga tuntutan tersebut dapat disebut legitimasi normatif atau etis karena berdasarkan keyakinan bahwa kekuasaan hanya sah secara etis apabila sesuai dengan tuntutan tadi.  Apabila legalitas kekuasaan diperoleh secara konstitusional dan dipergunakan sesuai dengan undang-undang yang berlaku, maka hukum mempunyai wewenang tertinggi dan penguasa berada dibawah hukum. Unsur pemegang kekuasaan merupakan faktor penting dalam hal digunakannya kekuasaan yang dimilikinya itu sesuai dengan kehendak masyarakat (Lili Rasjidi, 1985 ), artinya, hukum harus menjaga kekuasaan agar tidak merusak sifat dasar harkat dan martabat kodrati manusia.
 
Namun, ‘mentalitas’ pejabat negara yang senang bermain dengan kekuasan dan klaim ‘kebenaran’, tidak serta menjadi alasan tunggal lambannya penegakan hukum di Indonesia. Patut diinsyafi juga faktor mentalitas personal dari diri politisi baik yang ‘muda’ maupun yang ‘tua’. Perbaikan sistem hukum dan politik tidak serta merta akan berhasil guna tanpa ada ikhtiar untuk memperbaiki perilaku dan mentalitas personal dari politisi, yang tentu saja memerlukan waktu dan ikhtiar.
 
Kekuasaan sering bersumber pada wewenang formal (formal authority) yang memberikan wewenang atau kekuasaan kepada seseorang atau suatu fihak dalam suatu bidang tertentu. Hubungan hukum dan kekuasaan dalam masyarakat dengan demikian dapat kita simpulkan sebagai berikut : hukum memerlukan kekuasaan bagi pelaksanaannya, sebaliknya, kekuasaan itu sendiri ditentukan batas-batasnya oleh hukum.
 
Memang pada akhirnya, publik harus menghormati KPK dan institusi negara dalam menjalankan tugasnya, karena ekpektasi besar akan hukum yang ‘tidak pandang bulu’ tertumpu pada mereka. Namun demikian, agar jangan sampai terjadi “penyakit menyeleweng” pada lembaga KPK, masyarakat juga harus senantiasa mampu melihat, mengevaluasi, mengkritisi semua kinerja yang sudah dilakukan agar KPK tetap pada koridor lembaga pembasmi koruptor.

ads

Ditulis Oleh : agha_ku Hari: 19.44 Kategori:

0 komentar:

Posting Komentar